anime  'A silent voice' Kisah bully, trauma, dan kesepian
A Silent Voice 2017


Review Anime Movie A Silent Voice Tahun 2017


Suara yang sunyi, jika film ini di artikan ke dalam bahasa Indonesia. Menceritakan tentang kehidupan yang membahas masalah-masalah seperti intimidasi, bunuh diri dan bagaimana anak -anak tunarungu diintegrasikan ke dalam masyarakat.

Anime Ini didasarkan pada manga yang fantastis dengan nama yang sama, dan seperti manganya, film inipun juga fantastis. Sebuah hinaan yang dialami, berubah menjadi dendam

Selamat datang bagi yang baru baca artikel di 'In theArticle' jangan lupa bookmark web ini ya untuk mengetahui informasi terbaru dari Web Kami. 

Kali ini kita akan mereview Anime tentang  Silent Voice: Kisah Bully, Trauma danKesepian versi In The Article. Ini dia :


Judul Alternatif: ‘Shape of Voice

Anime ini menceritakan tentang karakter utama bernama Shoya Ishida. Dia merupakan seorang laki-laki sebagai tulang punggung keluarga pada saat usia muda. Dia menjual semua barang -barangnya dan membersihkan rekening tabungannya untuk membiayai keluarganya.

Shoya meninggalkan semua uang ini untuk ibunya dan mulai berjalan menuju jembatan di tempat dia melakukan bunuh diri. Tepat sebelum melompat, sekelompok anak -anak memainkan sesuatu yang mengingatkannya pada masa saat ia masih kecil. Ia teringat dengan seorang anak yang bernama Shoko, seorang gadis tuli yang mengubah hidupnya.

 

Ishida Shoko dan Nishiyama Shoya. A Silent Voice : Kisah Bully, Trauma, dan Kesepian
Ishida Shoko dan Nishiyama Shoya

Cerita Tentang Kehidupan Sehari-hari

Salah satu genre dalam film anime Jepang yang selalu bagus untuk ditonton adalah kategori "Slice of Life". Alasannya adalah untuk terus memproduksi cerita-cerita baru yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Meskipun merupakan salah satu genre anime tertua dan paling sering berulang.

Anime dan Manga sangat bergantung pada aktivitas dunia nyata, tokoh ucapan dan pertukaran sejarah budaya dalam cerita mereka. Misalnya, jika cerita ini berfokus pada sekolah menengah, maka pastin kamu akan melihat scene festival budaya (dengan dua kafe dan rumah angker) serta perayaan Tanabata.

Dalam banyak genre sinematografi,selalu memperlihatkan sisi estetika dan keindahan dalam setiap scenenya. Dan ya, 8 dari 10 genre slice of life  berbeda tipis.

Silent Voice melakukannya; melihat kembali kehidupan sehari -hari anak-anak sekolah (biasa), kemudian menempatkan Shoko ke dalam narasi yang tenang untuk menunjukkan kepada orang-orang untuk menunimbulkan rasa simpati. Kemudian dibangun karakter antagonis hampir pada semua karakter, mulai dari Shoya, teman-temannya, hingga guru.

Dibangunnya cerita atas kebencian kepada orang lain. Ketika semuanya mencapai titik maksimum mereka, setiap orang harus berurusan dengan diri mereka yang sebenarnya; Setiap orang membayangkan diri mereka sebagai orang baik dalam kisah kehidupan mereka sendiri, tetapi ternyata mereka adalah penjahat dalam mimpi buruk orang lain.

A Silent Voice Tahun 2017 Suara yang sunyi, jika film ini di artikan ke dalam bahasa Indonesia. Menceritakan tentang kehidupan yang membahas masalah-masalah seperti intimidasi, bunuh diri dan bagaimana anak -anak tunarungu diintegrasikan ke dalam masyarakat.


Simphony Yang Indah

Kisah silent voice bisa menjadi dark story, sedih dan menjengkelkan. Tapi itu juga bisa indah, santai, tapi tetap serius. Yoshitoki Ooima menulis manga yang sangat seimbang, dan film diikuti oleh Beat by beat. Penonton tidak akan kecewa ketika menyaksikannya, tetapi cerita indah dalam anime ini tak berlangsung lama, hanya sedikit saja.

Gambaran kenyataan yang penuh dengan rasa sakit adalah hal yang ingin ditampilkan oleh Oaima untuk membuat cerita itu tetap otentik. Dia bahkan riset dengan Federasi tunarungu Jepang untuk memastikan cerita yang realistis tanpa mendeskredikan siapapun.

Semua karakter terasa nyata: baik kekuatan maupun kekurangannya. Kecemburuan, kegilaan, persahabatan dan pengkhianatan bermain secara alami. Segala yang ada di cerita ini (termasuk upaya bunuh diri) merupakan kehidupan nyata yang terjadi di Jepang.

Aspek terakhir yang membuatnya megah adalah bahwa anime ini merupakan sebuah karya seni. Seni Ooima yang begitu indah, dengan cara yang sederhana. Semua karakter akan terlihat buruk jika ini bukan sebuah anime. Dan bagian terpenting adalah detailing ekspresi wajah: ia memiliki gaya wajah yang sangat ekspresif dan benar -benar mentransmisikan seribu kata. Gaya ekspresi tentu sangat membantu ketika salah satu karakter tidak berbicara. Tim art dari silent voice mengambil gaya Ooima dan membuatnya hidup.

Ishida Shoko dan Nishiyama Shoya. A silent Voice : anime kisah bully, trauma, dan kesepian


Tentang Suaranya

Salah satu hal yang menjadi paforit adalah aktris suara Shoko. Dan itu bukan karena yang lainnya tidak memiliki suara yang bagus (Saori Hayami mengisi suara beberapa karakter dalam film anime lain yang juga ku sukai); hanya saja suranya terlalu indah bagi ku. Dia adalah penyanyi dan aktris profesional, walaupun tidak diterjemahkan dengan baik ketika dia mencoba berbicara seperti gadis tuli sejak lahir.

Dalam manga, ada adegan di mana Shoko mencoba bernyanyi di kelas musik dengan keinginan kuat untuk beradaptasi; namun hasilnya hal itu hanya mengganggu teman sekelasnya. Ketika mereka membuat adegan ini di film, itu terlihat menyenangkan: karena itu sebenarnya lagu memang jelek, bukan karena dinyanyikan oleh Shoka.

 

Kesalahan Bisa Dimaafkan, Tapi Tak Bisa Dilupakan

Pengangkatan cerita ini begitu rumit dan kompleks. Pada masa SMA tercipta trauma yang akhirnya bisa mengubah hidup seseorang menjadi 180 drajat. Kesalahan pada masa lalu tidak mudah untuk dilupakan, apalagi dilupakan. Bahkan ketika dimaafkan, tidak akan bisa dilupakan. Ini merupakan pembelajaran penting dari film ini. Mengingatkan kita bahwa masa lalu tidak akan bisa dirubah. Sehingga berhati-hatilah menjalani kehidupan yang hanya satu kali ini.

Film ini memang menjadi film paforit ku, bahkan aku sempat menangis ketika menontonnya. Ini dikarenakan rasa sakit yang dituangkan, sampai kepada penonton. Yang menghasilkan aku pun tidak berani untuk menonton film ini lagi. Masih terasa sakitnya.

 

***